Polres Pegunungan Bintang Beserta Jajarannya Siap Melayani, Melindungi dan Mengayomi Masyarakat

Selasa, 10 Februari 2009

Kekerasan Politik Dalam Penerapan Prinsip Demokrasi di Indonesia

Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state). Artinya demokrasi memiliki hakikat nasionalisme secara menyeluruh dan bukan sebuah pemahaman nasionalisme dalm arti sempit (baca; chauvinisme) yang berpotensi melahirkan kekerasan politik di sebuah negara Demokrasi.
Huntington secara menarik menamakan perkembangan demokrasi di negara modern (negara bangsa) dengan istilah Gelombang Demokrasi atau gelombang demoratisasi, yang menunjukan fenomena transisi di sejumlah negara dari rezim non-demokratis (otoriter) ke rezim-rezim demokratis yang terjadi pada kuruk-kurun waktu tertentu dan jumlahnya sangat signifikan lebih banyak daripada transisi menuju arah yang sebaliknya.
Dengan analisis gelombang demokrasi yang lebih empirik, Huntungton melihat bahwa demokratisasi di suatu negara mensyaratkan adanya tiga hal, yakni:
a. berakhirnya sebuah rezim yang otoriter,
b. dibangunnya sebuah rezim demokratis,
c. pengkonsolidasian rezim demokratis.
Tampak sekali bahwa Huntington menempatkan demokrasi dan demokratisasi secara empirik berhadap-hadapan dengan sistem politik yang otoriter untuk mengetahui seberapa jauh perkembanagn terbaik dari dua kecendrungan yang bertentangan secara diametral itu. Analisis tentang demokrasi memang menjadi sangat jelas dan bersifat empirik manakala dikaitkan dengan kondisi dan sistem politik yang berada diseberangnya, yakni sistem poltik otoriter.
Gelombang baru tentang demokrasi bahkan saat ini ditandai dengan uoaya melakukan dekonstruksi pemikiran tentang demokrasi, yang seiring dikenal dengan pemikiran tentang “democracy without adjectives”, demokrasi kerakyatan, demokrasi parlementer, dan demokrasi dengan tambahan kata-kata sifat lainnya, selain mereduksi sifay universalitas demokrasi juga pada saat bersamaan merupakan pembatasan-pembatasan terhadap praktik demokrasi yang sesungguhnya. Setiap kata sifat sering kali digunakan oleh pihak penguasa untuk memnatasi pelaksanaan demokrasi sebagaimana mestinya, sehingga demokrasi kehilangan fungsi dalam aktualisasi kehidupan suatu sistem politik di suatu bangsa dan negara. Penguasa di beberapa negara otoriter bahakan seringkali sembunyi dibalik kata-kata sifat itu untuk mengebiri demokrasi dan tegaknya kedaultan rakyat.
Demokrasi sebagai sistem politik modern (demokrasi modern) bukan sekedar demokrasi desa atau demokrasi negara –kota sebagaimana era Yunani dan Romawi kuno. Tetapi, demokrasi negara kebangsaan yang muncul berkaitan dengan perkembangan negara kebangsaan (nation state).
Setiap rezim memang selalu memerlukan conflicts dan management of conflicts. Kedua hal tersebut diyakini penguasa sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan demokrasi. Namun yang lebih sering terjadi justru hal tersebut direkayasa untuk mengalihkan perhatian publik dari suatu persoalan, sekaligus juga menempatkan sang penguasa sebagai pahlawan yang mampu meredakan pertikaian tersebut.
Para operator politik memperlakukan ‘mereka’ sebagai partner shadow boxing hanya untuk sementara waktu hingga tujuan politiknya terpenuhi. Namun celakanya bagi masyarakat yang terprovokasi, ‘mereka’ tetap disembah sebagai berhala, yang kemudian mengkultuskan setiap opini politik yang terbentuk dengan melakukan pembenaran terhadap setiap tindakan, bahkan kekerasan sekalipun. Hal ini tidak berati kita harus menggugat elite politik sebagai pelaku dan penanggungjawab utama kekerasan politik yang selama ini terjadi di masyarakat. Ini hanya sekilas catatan untuk menunjukan apa yang terhilang dari analisis sosial yang terlanjur menonjol dalam masyarkat.
Dalih yang sering dibuat adalah bahwa perilaku tersebut sebagai bagian dari sebuah proses demokrasi. Padahal pemahaman tentang demokrasi tidaklah sempit seperti yang dijabarkan diatas. Bernhard Sutor menyebutkan bahwa demokrasi memiliki tanda-tanda empiris, yaitu jaminan terhadap hak-hak untuk mengeluarkan pendapat, memperoleh informasi bebas, kebebasan pers, berserikat dan berkoalisi, berkumpul dan berdemonstrasi, mendirikan partai-partai, beroposisi, pemilihan yang sama, bebas, rahasia atas dasar nilai dua alternatif, dimana para wakil dipilih untuk waktu terbatas .
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah poko yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan pemerintah negara oleh karena kebijaksanaan tersebut menyangkut kehidupan rakyat juga. Meskipun pada umumnya pengertian demokrasi dapat dikatakan tidak mengandung kontradiksi karena di dalamnya meletakkan posisi rakyat dalam posisi yang amat penting, namun pelaksanaannya (perwujudannya) dalam lembaga kenegaraan ternyata prinsip ini telah menempuh berbagai rute yang tidak selalu sama.
Adanya berbagai rute atau pengejawantahan tentang demokrasi itu menunjukkan pula beragamnya kapasitas peranan negara maupun rakyat. Ada negara yang memberikan peluang yang amat besar terhadap peran rakyat yang melalui sistem pluralisme-liberal, dan ada juga yang sebaliknya negara yang memegang dominasi yang jauh lebih besar daripada rakyatnya. Studi politik tentang Dunia Ketiga yang umumnya memperlihatkan lebih dominannya negara daripada peranan rakyat telah melahirkan berbagai konsep yang dimaksudkan sebagai alat pemahaman bagi realitas tersebut. Berbagai uapaya pemahaman dengan memberikan pijakan teoritis itulah telah menunjukkan betapa di negara Indonesia telah terjadi hubungan tolak-tarik antara negara dengan masyarkat dalm memainkan peranannya.
Penting kiranya untuk segera memberikan porsi yang layak bagi pembangunan demokrasi, serta menciptakan suatu kebijakan publik yang mampu mengatur agar simbol-simbol kekerasan tidak digunakan, setidaknya dibatasi, dalam wacana politik. Dan yang terpenting agar penalaran masyarakat tidak diredusir dari esensi menjadi simbol dan menyihir simbol menjadi esensi. Masyarakat perlu diberi ketentraman untuk mengembangkan demokrasinya, bukan dicabik untuk kepentingan politik.
Namun, kini kita menyaksikan kecenderungan yang semakin kuat munculnya public podium yang bersifat merusak tradisi demokrasi di berbagai wilayah di Tanah Air. Ikatan-ikatan kepercayaan yang dibangun oleh kelompok-kelompok masyarakat cenderung semakin menyempit, meniadakan pentingnya pluralisme. Kecenderungan semacam ini sudah barang tentu mendorong pengerasan batas-batas antar kelompok dalam transaksi politik. Akibatnya, arena publik sebagai arena penyelamatan masyarakat berubah menjadi arena kekerasan politik.
Setidaknya ada dua bentuk model kekerasan politik, yakni kekerasan struktural dan kekerasan kultural. Dalam tataran struktural, kekerasan politik dipahami sebagai hasil hubungan-hubungan sosial atau struktural dimana para pelaku tersebut berada. Nilai dan norma dipandang sebagai imperatif struktural yang terinternalisasi dalam diri individu, sehingga orang berprilaku selaras dengan-atau fungsional terhadap sistem.
Menurut Muhammad Asfar, ada empat kondisi struktural yang menjadi akar persoalan munculnya kekerasan politik :
Pertama, kekerasan politik tersebut merupakan reaksi beberapa kelompok masyarakat, khususnya pendukung OPP tertentu, yang menilai para pemegang kekuasaan kurang adil dalam mengelola berbagai konflik dan sumber kekuasaan yang ada. Bahkan dengan wewenang strukturalnya memakai cara-cara non-dialogis, non-musyawarah untuk menyelesaikan konflik kepentingan. Karena tidak memakai cara-cara dialogis dan beradab untuk menyelesaikan konflik, maka jalan kekerasan kekuasaanlah yang dipakai untuk memenangkan kepentingan terhadap lawan-lawan yang bersengketa atau berbeda kepentingan.
Kedua, cara-cara kekerasan politik tersebut ditempuh karena para pelaku menilai bahwa institusi-institusi demokrasi tidak mampu mengartikulasikan dan mengagregatkan berbagai kepentingan politik dalam masyarakat. Akibatnya, berbagai kelompok yang tidak mempunyai akses kepada kekuasaan menyalurkan berbagai aspirasi politiknya melalui cara-cara diluar lembaga demokrasi yang ada. Strategi perjuangan politik kemudian dilakukan di jalan dan tidak jarang dengan cara kekerasan.
Ketiga, akibat kekakuan lembaga-lembaga politik sehingga mereka tidak mampu menampung dan menyelesaikan berbagai konflik kepentingan dalam masyarakat. Akibatnya setiap ada perbedaan dan konflik kepentingan dengan kelompok lain, terutama kelompok yang berkuasa, masyarakat memendam berbagai perasaan konflik tersebut. Ketika berbagai perasaan konfliktual ini terakumulasi, dan ada kesempatan untuk melampiaskannya—misalnya pada masa kampanye pemilu—maka kekerasan politik sebenarnya terletak pada kekakuan lembaga-lembaga politik.
Keempat, adanya beberapa tekanan pemerintah di satu sisi dan tidak terpenuhinya di sisi lain. Dalam banyak kasus, tidak jarang masyarakat merasa tidak berdaya dalam menghadapi berbagai ketentuan pemerintah. Sebagian masyarakat merasa hak-haknya telah dirampas oleh pihak-pihak tertentu. Ketika sebagian warga yang mempunyai hak pilih tidak memperoleh kartu suara karena beberapa oknum panitia pemilihan, masyarakat merasa hak mereka telah dirampas oleh oknum tersebut. Ketika diperjuangkan selalu membentur tembok kekuasaan, yang memenangkan pihak status quo kepentingan sendiri, sehingga ketidakadilan lalu mengkristal menjadi struktur tidak adil. Keadaan seperti ini mengakibatkan frustasi, yang pada akhirnya disalurkan melalui tindak kekerasan.
Sedangkan dalam tatanan kultural, kekerasan lebih dikarenakan faktor budaya suatu komunitas. sebagai faktor pendukung (stimuli) adalah rendahnya tingkat pendidikan dalam masyarakat. Fanatisme keagamaan sangat sempit dengan prinsip apa yang didengarkan orang dan juga faktor kesejahteraan menjadi alasan berbuat asosial.
Jika Violence Studies kita arahkan dalam perspektif sosial, setidaknya ada beberapa hal yang bisa dilakukan; pertama, membebaskan tradisi kekerasan dalam proses relasi politik dalam penetapan sebuah kebijakan publik. Apa yang dilakukan disini sama artinya dengan melakukan transformasi demokrasi dalam tataran praktis.
Kedua, konsekuensi dari poin pertama tersebut adalah dengan melakukan kritik terhadap setiap pewacanaan yang benar yang mencakup bahasa, stratifiksi sosial, politik, ekonomi, budaya termasuk Pengistilahan RAS. Transformasi ini berjalan tanpa henti untuk mencapai tujuan.
Ketiga, sikap kritis-transformatif poin kedua tersebut menggunakan prinsip; “ mempertahankan sistem yang baik dan mengambil sistem baru yang lebih baik”, sebab banyak juga value system yang lebih baik di dunia ini.

Negara, Kekerasan dan Sistem Politik
Apabila negara dianggap sebagai kekuatan reaksioner yang bertujuan memulihkan tatanan tradisional, atau gerakan progresif kepentingan rakyat menentang negara, kekaisaran, dan dinasti, maka tidak ada kekuasaan yang mampu mencegah negara untuk menggunakan kekerasan atau terlibat dalam tindak kekerasan. Semua tipe atau kategori negara pasti mempunyai kecenderungan untuk mengabsahkan penggunaan kekerasan terhadap pihak lain yang dipersepsi sebagai orang-orang yang mengancam eksistensi negara. Negara dihubungan dengan bentuk-bentuk kekerasan dalam banyak hal. Pertama, negara membangkitkan dikotomi konseptual dan psikologis yang cenderung mendorong tindak kekerasan politik. Kedua, negara dilibatkan dalam perjuangan memperebutkan otonomi politik yang dipahami sebagai kontrol atas instrumen koersif dan regulasi wilayah. Ketiga, kekerasan negara berhubungan dengan peran penting peperangan dalam perkembangan historis negara.
Dalam negara demokrasi baik di Amerika dan Perancis, dimana kemerdekaan, kebebasan, persamaan, wibawa hukum dihormati dan dijunjung tinggidalam konstitusi, ternyata penindasan terlindung cukup aman dan terhormat. Demokrasi yang ganjil seperti ini oleh Soekarno disebut sebagai demokrasi yang antisosial, sebab tidak menyelamatkan, menyejahterakan, dan melindungi segenap masyarakat.
Negara dan sistem politik yang dianut merupakan aspek yang berhubungan erat dengan aktivitas dan kedudukannya dalam penggunaan kekerasan. Pandangan state centcred bahwa negara adalah aktor yang turut bermain dalam arena, termasuk menentukan sistem politik yang dianut dan adanya upaya untuk memonopoli dan melitigimasi penggunaan kekuatan fisik.
Terlepas dari segala kekurangan yang ada, tampaknya sistem politik demokrasi memiliki sumber kekuasaan negara yang cenderung persuasif. Namun, tidak berarti sistem politik bebas dari kekerasan politik, karena di dalam sistem politik demokrasi juga melekat kekerasan struktural, kekerasan memang gejala yang serba hadir. Penulis: Teguh Arifiyadi, SH (Inspektorat Jenderal Depkominfo)

0 komentar:

Posting Komentar

 

blogger templates | Dokter PC in Jayapura